Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki potensi sumber daya wilayah
pesisir laut yang besar dimana salah satunya adalah hutan mangrove. Ciri khas dari hutan mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman
jenis yang tertinggi di dunia. Akan tetapi, kondisi mangrove tersebut baik
secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun.
Penurunan kualitas mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan
luasnya. Perubahan kerapatan tajuk merupakan salah satu indikasi untuk memantau
kualitasnya.
Kawasan
hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta
tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang
surut yang menggenangi pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir
pantai (Tarigan, 2008). Sebagai sebuah hutan, hutan mangrove terdiri dari
beragam organisme yang juga saling berinteraksi satu sama lainnya. Fungsi fisik
dari hutan mangrove di antaranya: sebagai pengendali naiknya batas antara
permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan (intrusi),
sebagai kawasan penyangga, memacu perluasan lahan dan melindungi garis pantai
agar terhindar dari erosi atau abrasi. Segara Anakan merupakan sebuah teluk di
bagian selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Didepannya membentang sepanjang
kurang lebih 30 kilometer arah timur - barat adalah Pulau Nusakambangan yang
melindungi teluk tersebut dari gelombang Samudera Hindia. Kondisi pasang surut dan
kadar garamnya masih mencirikan sifat - sifat laut, tetapi gelombang dan
arusnya sudah teredam sehingga menjadi perairan yang tenang sehingga banyak
orang yang menyebut Segara Anakan sebagai lagoon atau laguna.
Hutan
mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh,
dimana letak geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat
dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi
darat lainnya (Faizal et al., 2005). Dengan teknologi ini, nilai spektral pada
citra satelit dapat diekstraksi menjadi informasi obyek jenis mangrove pada
kisaran spektrum tampak dan inframerah - dekat (Suwargana, 2008). Mangrove di kawasan sepanjang pantai dan
pertambakan dapat terlihat jelas dari citra FCC (False Color Composit).
Kombinasi tersebut masing-masing adalah
band 4,5, dan 7 untuk Landsat-MSS atau band 2,3 dan 4 untuk LandsatTM; masing-masing
dengan filter Blue, Green dan Red. Hutan mangrove terlihat dengan warna merah kegelapan
pada citra FCC. Warna merah merupakan reflektansi vegetasi yang terlihat jelas
pada citra band inframerah, sedangkan kegelapan merupakan reflektansi tanah
berair yang terlihat jelas pada citra band merah (Dewanti et al., 1998 dalam
Suwargana, 2008). Penelitian yang dilakukan Waas (2010) menunjukkan bahwa
analisis data citra untuk penentuan vegetasi mangrove menggunakan citra Landsat
7 ETM+ mengacu pada hasil eksplorasi
citra komposit RGB 453. Penelitian mengenai deteksi sebaran hutan mangrove
beserta kerapatannya di wilayah Segara Anakan
telah dilakukan oleh banyak peneliti. Kondisi hutan mangrove dari tahun
1994 - 2000 terus mengalami penurunan luas dan perubahan tingkat kerapatan. Hal
itu disebabkan oleh banyaknya konversi penggunaan lahan dari penutup lahan yang
satu menjadi penutup lahan lain yang banyak (Parwati, 2001). Pada saat ini,
wilayah Segara Anakan mengalami tekanan yang besar yaitu tingginya laju
sedimentasi dari daratan dan penebangan liar yang mengakibatkan penurunan hutan
mangrove baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk melihat kondisi
terkini mengenai sebaran dan kerapatan hutan
mangrove di Segara Anakan perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan
data terbaru. Salah satu satelit terbaru yang bisa dimanfaatkan untuk
mendeteksi hutan mangrove adalah Landsat 8. Satelit ini melanjutkan misi satelit
Landsat 7 (ETM+) sebelumnya. Hal ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip
dengan Landsat 7, baik resolusinya (spasial, temporal, spektral), metode
koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa. Akan
tetapi ada beberapa tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari Landsat 7
seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah yang
dapat ditangkap sensor serta nilai bit dari tiap piksel data (Ayuindra, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebaran hutan mangrove beserta
kerapatannya dengan menggunakan citra satelit Landsat 8 di Segara Anakan,
Cilacap.
Gambar
1. Sebaran Hutan Mangrove dengan Interpretasi menggunakan Citra Landsat 7
|
Gambar
2. Sebaran Kerapatan Mangrove dengan Interpretasi menggunakan Citra Landsat 8
|
Diperoleh
sebaran mangrove terkonsentrasi di area sekitar laguna (sisi barat), sepanjang
aliran sungai Kembang Kuning (sekitar Pulau Nusakambangan atau sisi selatan),
sepanjang aliran sungai Sapuregel (sisi tengah) dan di sepanjang aliran Sungai
Donan (sisi timur dan utara). Segara Anakan mempunyai potensi yang cukup besar
untuk pelestarian mangrove, akan tetapi pada tahun 2013 terjadi penurunan
sebaran dan luasan mangrove dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Teknologi
penginderaan jauh merupakan metode yang tepat untuk menginterpretasi suatu
kawasan dengan area yang sangat luas. Maka dari itu teknologi tersebut diterapkan
dalam bidang kemaritiman.
Referensi:
Referensi:
Purwanto,
Anang Dwi. 2014. Analisis sebaran dan kerapatan mangrove menggunakan Citra landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap . Artikel Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014.
Muamar Mujab
12/330042/TK/39234