Minggu, 31 Mei 2015

PENGGUNAAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK ANALISIS SEBARAN DAN KERAPATAN MANGROVE DI SEGARA ANAKAN, CILACAP



Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar dimana salah satunya adalah hutan mangrove.  Ciri khas dari hutan  mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Akan tetapi, kondisi mangrove tersebut baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Penurunan kualitas mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan luasnya. Perubahan kerapatan tajuk merupakan salah satu indikasi untuk memantau kualitasnya.
Kawasan hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang surut yang menggenangi pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai (Tarigan, 2008). Sebagai sebuah hutan, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang juga saling berinteraksi satu sama lainnya. Fungsi fisik dari hutan mangrove di antaranya: sebagai pengendali naiknya batas antara permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan (intrusi), sebagai kawasan penyangga, memacu perluasan lahan dan melindungi garis pantai agar terhindar dari erosi atau abrasi. Segara Anakan merupakan sebuah teluk di bagian selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Didepannya membentang sepanjang kurang lebih 30 kilometer arah timur - barat adalah Pulau Nusakambangan yang melindungi teluk tersebut dari gelombang Samudera Hindia. Kondisi pasang surut dan kadar garamnya masih mencirikan sifat - sifat laut, tetapi gelombang dan arusnya sudah teredam sehingga menjadi perairan yang tenang sehingga banyak orang yang menyebut Segara Anakan sebagai lagoon atau laguna.
Hutan mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, dimana letak geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya (Faizal et al., 2005). Dengan teknologi ini, nilai spektral pada citra satelit dapat diekstraksi menjadi informasi obyek jenis mangrove pada kisaran spektrum tampak dan inframerah - dekat (Suwargana, 2008).  Mangrove di kawasan sepanjang pantai dan pertambakan dapat terlihat jelas dari citra FCC (False Color Composit). Kombinasi tersebut masing-masing adalah  band 4,5, dan 7 untuk Landsat-MSS atau band 2,3 dan 4 untuk LandsatTM; masing-masing dengan filter Blue, Green dan Red. Hutan mangrove terlihat dengan warna merah kegelapan pada citra FCC. Warna merah merupakan reflektansi vegetasi yang terlihat jelas pada citra band inframerah, sedangkan kegelapan merupakan reflektansi tanah berair yang terlihat jelas pada citra band merah (Dewanti et al., 1998 dalam Suwargana, 2008). Penelitian yang dilakukan Waas (2010) menunjukkan bahwa analisis data citra untuk penentuan vegetasi mangrove menggunakan citra Landsat 7 ETM+  mengacu pada hasil eksplorasi citra komposit RGB 453. Penelitian mengenai deteksi sebaran hutan mangrove beserta kerapatannya di wilayah Segara Anakan  telah dilakukan oleh banyak peneliti. Kondisi hutan mangrove dari tahun 1994 - 2000 terus mengalami penurunan luas dan perubahan tingkat kerapatan. Hal itu disebabkan oleh banyaknya konversi penggunaan lahan dari penutup lahan yang satu menjadi penutup lahan lain yang banyak (Parwati, 2001). Pada saat ini, wilayah Segara Anakan mengalami tekanan yang besar yaitu tingginya laju sedimentasi dari daratan dan penebangan liar yang mengakibatkan penurunan hutan mangrove baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk melihat kondisi terkini mengenai sebaran dan kerapatan hutan  mangrove di Segara Anakan perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan data terbaru. Salah satu satelit terbaru yang bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi hutan mangrove adalah Landsat 8. Satelit ini melanjutkan misi satelit Landsat 7 (ETM+) sebelumnya. Hal ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip dengan Landsat 7, baik resolusinya (spasial, temporal, spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa. Akan tetapi ada beberapa tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari Landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit dari tiap piksel data (Ayuindra, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebaran hutan mangrove beserta kerapatannya dengan menggunakan citra satelit Landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap.
Gambar 1. Sebaran Hutan Mangrove dengan Interpretasi menggunakan Citra Landsat 7

Gambar 2. Sebaran Kerapatan Mangrove dengan Interpretasi menggunakan Citra Landsat 8

Diperoleh sebaran mangrove terkonsentrasi di area sekitar laguna (sisi barat), sepanjang aliran sungai Kembang Kuning (sekitar Pulau Nusakambangan atau sisi selatan), sepanjang aliran sungai Sapuregel (sisi tengah) dan di sepanjang aliran Sungai Donan (sisi timur dan utara). Segara Anakan mempunyai potensi yang cukup besar untuk pelestarian mangrove, akan tetapi pada tahun 2013 terjadi penurunan sebaran dan luasan mangrove dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Teknologi penginderaan jauh merupakan metode yang tepat untuk menginterpretasi suatu kawasan dengan area yang sangat luas. Maka dari itu teknologi tersebut diterapkan dalam bidang kemaritiman.

Referensi:

Purwanto, Anang Dwi. 2014. Analisis sebaran dan kerapatan mangrove menggunakan  Citra landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap . Artikel Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014.

Muamar Mujab
12/330042/TK/39234

1 komentar: