Hukum adalah
sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukumlah
yang mengatur segala hal yang ada di dunia ini agar lebih tertib dan teratur. Apakah
hukum ada kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir?Tentu saja ada kaitannya,
UU No. 27 tahun 2007 mengatur Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, namun kemudian ada perubahan mengenai UU No. 27 tahun
2007 yang dijelaskan dalam UU No. 1 tahun 2014. Kenapa UU tersebut mengalami
Perubahan?Tulisan dibawah ini akan menjelaskan kenapa UU tersebut perlu
dirubah. Silahkan membaca :D
1. Pasal 1
1.1. Ayat
1
“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang
dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem
darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan agar pengelolaan pesisir terkoordinasi dengan baik mulai
dari perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, hingga pengendalian serta dilakukan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
1.2. Ayat
17
“Rencana Zonasi Rinci adalah rencana
detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana
Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana
yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Rencana Zonasi Rinci adalah rencana
detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana
Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang
diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan
jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan agar surat izin untuk pengelolaan di dalam rencana zonasi
dapat diterbitkan tidak hanya oleh Pemerintah Daerah melainkan juga Pemerintah.
1.3. Ayat
18
“Hak Pengusahaan Perairan Pesisir,
selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan
pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait
dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas
permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Izin Lokasi adalah izin yang
diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup
permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau
kecil”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib.
1.4. Ayat 18A (Ayat tambahan)
“Izin Pengelolaan adalah izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil”.
Penambahan
dimaksudkan untuk memberikan pengertian izin pengelolaan yang dikeluarkan oleh
Negara.
1.5. Ayat
23
“Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase”.
Perubahan
dari segi kata dalam kalimat yaitu ditambahkan kata oleh.
1.6. Ayat
26
“Bencana Pesisir adalah kejadian
karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan
sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta,
dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Bencana Pesisir adalah kejadian
karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa,
harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.
Penambahan
kata setiap hal ini bertujuan untuk penekanan bahwa bencana pesisir bisa saja
dilakukan oleh masing-masing orang.
1.7. Ayat 27A (Ayat tambahan)
“Dampak Penting dan Cakupan yang
Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap
kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi
masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan
datang".
Penambahan
ini dimaksudkan untuk kemungkinan terjadinya dampak penting dan cakupan yang
luas serta bernilai strategis.
1.8. Ayat
28
“Pencemaran Pesisir adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pencemaran Pesisir adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas
Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.
Penambahan
kata setiap hal ini bertujuan untuk penekanan bahwa bencana pesisir bisa saja
dilakukan oleh masing-masing orang.
1.9. Ayat
29
“Akreditasi adalah prosedur
pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi
penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program pengelolaan yang
dilakukan oleh masyarakat secara sukarela”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Akreditasi adalah prosedur
pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi
penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang
dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela”.
Tidak adanya
pengulangan kata program pada UU No. 1 Tahun 2014.
1.10.
Ayat 30
“Pemangku Kepentingan Utama adalah
para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai
kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya
ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemangku Kepentingan Utama adalah
para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai
kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya
ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan bahwa pemangku kepentingan utama tidak hanya untuk
masyarakat pesisir, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
1.11.
Ayat 31
“Pemberdayaan Masyarakat adalah
upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir agar
mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemberdayaan Masyarakat adalah
upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan
tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau Pulau Kecil secara lestari”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan agar pemberdayaan tidak hanya dilakukan pada masyarakat
pesisir, tetapi juga pada masyarakat pada umumnya dan nelayan tradisional pada khususnya
untuk mencapai kesejahteraan.
1.12.
Ayat 32
“Masyarakat adalah masyarakat yang
terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Masyarakat adalah masyarakat yang
terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat
Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan agar masyarakat adat bekerja berdasarkan hukum adat
sehingga ditambahkan kata hukum. Selain itu penghormatan terhadap
tradisi-tradisi yang ada pada masyarakat, sehingga menambahkan masyarakat
tradisional.
1.13.
Ayat 33
“Masyarakat Adat adalah kelompok
Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok
orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan agar masyarakat hukum adat tidak hanya terdapat di wilayah
pesisir, melainkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum
adat ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
1.14.
Ayat 38
“Orang adalah orang perseorangan
dan/atau badan hukum”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Setiap Orang adalah orang
perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum”.
Penekanan
pada masing-masing orang serta korporasi (badan usaha) yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum.
1.15.
Ayat 44
“Menteri adalah Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan”.
Perubahan
ini dimaksudkan agar lebih jelas bahwa menteri merupakan bagian pemerintah untuk
bidang kelautan dan perikanan.
2. Ketentuan
Pasal 14 diubah
2.1. Ayat
1
“Usulan penyusunan RSWP-3-K,
RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia
usaha”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Usulan penyusunan RSWP-3-K,
RZWP-3-K, RPWP- 3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah,
Masyarakat, dan dunia usaha”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan pentingnya partisipasi dari masyarakat luas tentang
RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K.
2.2. Ayat
7
“Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final
perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud
diberlakukan secara definitif”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara
definitif”.
Perubahan
dengan penghapusan kata maka, hanya untuk efisiensi penggunaan kata.
3. Judul
Bagian
Kesatu Bab V UU No. 27 Tahun 2007:
Bagian
Kesatu
Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir
Mengalami
perubahan menjadi:
Bagian Kesatu
Izin
Perubahan tersebut dimaksudkan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir
dipertegas dengan adanya izin dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sehingga pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada
dinaungan hukum.
4. Ketentuan
Pasal 16 diubah
4.1. Ayat
1
“Pemanfaatan perairan pesisir
diberikan dalam bentuk HP-3”.
Mengalami perubahan menjadi:
Setiap Orang yang melakukan
pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian
pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum.
4.2. Ayat
2
“HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum.
5. Ketentuan
Pasal 17 diubah
5.1. Ayat
1
“HP-3 diberikan dalam luasan dan
waktu tertentu”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil”.
5.2. Ayat
2
“Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak
lintas damai bagi kapal asing”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemberian
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan
kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan
tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing”.
5.3. Ayat
3
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu”.
5.4. Ayat
4
“Izin Lokasi tidak dapat diberikan
pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai
umum”.
Pemberian
izin berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta
tidak untuk wilayah konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
6. Ketentuan
Pasal 18 diubah
HP-3 dapat diberikan kepada:
1)
Orang perseorangan warga negara
Indonesia;
2)
Badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia;
3)
Masyarakat Adat.
Mengalami perubahan menjadi:
“Dalam
hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak
merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum. Serta adanya
sanksi bagi yang tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling
lama 2 tahun sejak izin diterbitkan.
7. Ketentuan
Pasal 19 diubah
7.1. Ayat
1
“HP-3
diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Setiap Orang yang melakukan
pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulaupulau kecil untuk
kegiatan:
a.
produksi garam;
b.
biofarmakologi laut;
c.
bioteknologi laut;
d.
pemanfaatan air laut selain energi;
e.
wisata bahari;
f.
pemasangan pipa dan kabel bawah
laut;
g.
pengangkatan benda muatan kapal
tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan.”
7.2. Ayat
2
“Jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh)
tahun”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Izin Pengelolaan untuk kegiatan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
7.3. Ayat
3
“Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (2) dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Dalam hal terdapat kegiatan
pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum. Serta
diberikan secara spesifik tentang peruntukan pemanfaatan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil.
8. Ketentuan
Pasal 20 diubah
8.1. Ayat
1
“HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan
dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada
Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional”.
8.2. Ayat
2
“HP-3
diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang
melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.
8.3. Ayat
3
“HP-3 berakhir karena:
a.
jangka waktunya habis dan tidak
diperpanjang lagi;
b.
ditelantarkan; atau
c.
dicabut untuk kepentingan umum”.
Terjadi
perubahan yaitu dihapusnya ayat 3 dan 4 sehingga menjadi 2 pasal saja.
8.4. Ayat
4
“Tata cara pemberian, pendaftaran,
dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
Terjadi perubahan yaitu dihapusnya
ayat 3 dan 4 sehingga menjadi 2 pasal saja.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum. Serta
adanya kemudahan bagi masyarakat lokal dan tradisional untuk pemanfaatan ruang dan
sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
9. Ketentuan
Pasal 21 diubah
9.1. Ayat
1
“Pemberian HP-3 wajib memenuhi
persyaratan teknis, administratif, dan operasional”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemanfaatan ruang dan sumber daya
Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum
Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat
setempat”.
9.2. Ayat
2
“Persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesesuaian
dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau
Kecil;
b. hasil
konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta
c.
pertimbangan hasil pengujian dari
berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Pemanfaatan ruang dan sumber daya
Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
9.3. Ayat
3
“Persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penyediaan dokumen administratif;
b.
penyusunan rencana dan pelaksanaan
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung
ekosistem;
c.
pembuatan sistem pengawasan dan
pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
d.
dalam hal HP-3 berbatasan langsung
dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah”.
Terjadi
perubahan yaitu dihapusnya ayat 3,4,5 dan 6 sehingga menjadi 2 pasal saja.
9.4. Ayat
4
“Persyaratan operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
a.
memberdayakan Masyarakat sekitar
lokasi kegiatan;
b.
mengakui, menghormati, dan melindungi
hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
c.
memperhatikan hak Masyarakat untuk
mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
d.
melakukan rehabilitasi sumber daya
yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3”.
Terjadi
perubahan yaitu dihapusnya ayat 3,4,5 dan 6 sehingga menjadi 2 pasal saja.
9.5. Ayat
5
“Penolakan atas permohonan HP-3
wajib disertai dengan salah satu alasan di bawah ini:
a.
terdapat ancaman yang serius
terhadap kelestarian Wilayah Pesisir;
b.
tidak didukung bukti ilmiah; atau
c.
kerusakan yang diperkirakan terjadi
tidak dapat dipulihkan”.
Terjadi
perubahan yaitu dihapusnya ayat 3,4,5 dan 6 sehingga menjadi 2 pasal saja.
9.6. Ayat
6
“Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum. Penguatan
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang ada di wilayah pesisir yang tidak
mengurangi kewenangan negara.
10. Ketentuan
Pasal 22 diubah
10.1.
Ayat 1
“ HP-3 tidak dapat diberikan pada
Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan
pantai umum”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Kewajiban memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) dikecualikan bagi
Masyarakat Hukum Adat”.
10.2.
Ayat 2
“Masyarakat
Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 22 hanya ada satu ayat saja,
kemudian ditambahkan menjadi dua ayat.
11. Pasal
22A (Pasal tambahan)
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) diberikan kepada:
a.
orang perseorangan warga negara
Indonesia;
b.
korporasi yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia; atau
c.
koperasi yang dibentuk oleh
Masyarakat”.
12. Pasal
22B (Pasal tambahan)
“Orang perseorangan warga Negara
Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus
memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional”.
13. Pasal
22C (Pasal tambahan)
“Ketentuan lebih lanjut mengenai
syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Penambahan
ini agar setiap orang sebagai WNI dan korporasi baik berbadan hukum maupun
tidak, berhak untuk mendapatkan izin lokasi dan izin pengelolaan.
14. Ketentuan
Pasal 23 diubah
14.1.
Ayat 1
“Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis
secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis
secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya”.
14.2.
Ayat 2
“Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan
berikut:
a.
konservasi;
b.
pendidikan dan pelatihan;
c.
penelitian dan pengembangan;
d.
budidaya laut;
e.
pariwisata;
f.
usaha perikanan dan kelautan dan
industri perikanan secara lestari;
g.
pertanian organik; dan/atau
h.
peternakan”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan
sebagai berikut:
a.
konservasi;
b.
pendidikan dan pelatihan;
c.
penelitian dan pengembangan;
d.
budi daya laut;
e.
pariwisata;
f.
usaha perikanan dan kelautan serta
industri perikanan secara lestari;
g.
pertanian organik;
h.
peternakan; dan/atau
i.
pertahanan dan keamanan Negara”.
14.3.
Ayat 3
“Kecuali untuk tujuan konservasi,
pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan
Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a.
memenuhi persyaratan pengelolaan
lingkungan; memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
b.
menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Kecuali
untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a.
memenuhi persyaratan pengelolaan
lingkungan;
b.
memperhatikan kemampuan dan
kelestarian sistem tata air setempat; dan
c.
menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan”.
Perubahan tersebut dimaksudkan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir
dipertegas dengan adanya izin dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sehingga pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada
dinaungan hukum. Prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil juga
diperuntukkan guna pertahanan dan keamanan Negara.
14.4.
Ayat 4
“Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi
persyaratan pada ayat (3) wajib mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya”.
Terdapat perubahan yaitu penghapusan
ayat 4, 5, 6, dan 7.
14.5.
Ayat 5
“Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil
dan perairan di sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan
Masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah
melakukan musyawarah dengan Masyarakat yang bersangkutan”.
Terdapat perubahan yaitu penghapusan
ayat 4, 5, 6, dan 7.
14.6.
Ayat 6
“Bupati/walikota memfasilitasi
mekanisme musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)”.
Terdapat perubahan yaitu penghapusan
ayat 4, 5, 6, dan 7.
14.7.
Ayat 7
“Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya oleh Orang asing harus mendapat persetujuan Menteri”.
Terdapat perubahan yaitu penghapusan
ayat 4, 5, 6, dan 7.
15. Pasal
26A
15.1.
Ayat 1
“Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus
mendapat izin Menteri”.
15.2.
Ayat 2
“Penanaman modal asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional”.
15.3.
Ayat 3
“Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota”.
15.4.
Ayat 4
“Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan
hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b. menjamin
akses publik;
c. tidak
berpenduduk;
d. belum
ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e. bekerja
sama dengan peserta Indonesia;
f. melakukan
pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g. melakukan
alih teknologi; dan
h. memperhatikan
aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan”.
15.5.
Ayat 5
“Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f
dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden”.
Penambahan
dilakukan guna mengakomodasi peluang investasi bagi modal asing yang ingin
menanamkan modal di pulau-pulai kecil dan perairan di sekitarnya dengan tetap
mengutamakan kepentingan nasional melalui syarat-syarat yang cukup ketat.
16. Ketentuan
Pasal 30 diubah
16.1.
Ayat 1
“Perubahan status Zona inti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 untuk kegiatan eksploitasi yang dapat
menimbulkan dampak besar dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Perubahan peruntukan dan fungsi zona
inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi ditetapkan oleh Menteri dengan
didasarkan pada hasil penelitian terpadu”.
16.2.
Ayat 2
“Menteri membentuk Tim untuk
melakukan penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, serta
praktisi perikanan dan kelautan”.
16.3.
Ayat 3
“Perubahan peruntukan dan fungsi
zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berDampak Penting dan Cakupan
yang Luas serta Bernilai Strategis, ditetapkan oleh Menteri dengan persetujuan
DPR”.
16.4.
Ayat 4
“Tata cara perubahan peruntukan dan
fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri”.
Perubahan
peruntukan dan fungsi zona inti agar tidak diselewengkan. Sehingga perlu
penetapan dan persetujuan menteri setelah diteliti secara terpadu oleh
kementrian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, serta praktisi
perikanan dan kelautan.
17. Ketentuan
Pasal 50 diubah
17.1.
Ayat 1
“Menteri berwenang memberikan HP-3
di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional
Tertentu”.
Mengalami perubahan
menjadi:
Menteri
berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan
Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Kawasan Konservasi
Nasional.
17.2.
Ayat 2
“Gubernur berwenang memberikan HP-3
di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan
Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Gubernur berwenang memberikan dan
mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin
Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan
Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya”.
17.3.
Ayat 3
“Bupati/walikota berwenang memberikan
HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Bupati/wali kota berwenang
memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di
wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum. Penambahan
wilayah konservasi nasional pada kewenangan menteri. Yang dimaksud dengan
"kawasan konservasi nasional" adalah Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir
dan PulauPulau Kecil yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah.
18. Ketentuan
Pasal 51 diubah
18.1.
Ayat 1
“Menteri berwenang menetapkan:
a. HP-3
di Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
b. Ijin
pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan
lingkungan, dan
c.
Perubahan status Zona inti pada
Kawasan Konservasi Perairan nasional”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Menteri
berwenang:
a. menerbitkan
dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di
sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai
Strategis terhadap perubahan lingkungan; dan
b. menetapkan
perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional”.
18.2.
Ayat 2
“Penetapan
HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah memperhatikan
pertimbangan DPR”.
Mengalami perubahan
menjadi:
“Ketentuan
mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan izin serta perubahan status zona
inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri”.
18.3.
Ayat 3
“Tata cara penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dipertegas dengan adanya izin dalam
penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada dinaungan hukum. Penetapan
perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional juga menjadi
wewenang menteri.
19. Ketentan
Pasal 60 diubah
19.1.
Ayat 1
“Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a. memperoleh
akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
b. memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau
Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian
HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. melakukan
kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
d. memperoleh
manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
e. memperoleh
informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. mengajukan
laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa
dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
PulauPulau Kecil;
g. menyatakan
keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu
tertentu;
h. melaporkan
kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
i. mengajukan
gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang merugikan kehidupannya; serta
j. memperoleh
ganti kerugian”.
Mengalami
perubahan menjadi:
“Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan PulauPulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a. memperoleh
akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan;
b. mengusulkan
wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c. mengusulkan
wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
d. melakukan
kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. memperoleh
manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. memperoleh
informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. mengajukan
laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa
dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
h. menyatakan
keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu
tertentu;
i. melaporkan
kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;”.
j. mengajukan
gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
k. memperoleh
ganti rugi; dan
l. mendapat
pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
19.2.
Ayat 2
“Masyarakat dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a. memberikan
informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. menjaga,
melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. menyampaikan
laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d. memantau
pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.
melaksanakan program Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
Mengalami
perubahan menjadi:
“Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a. memberikan
informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. menjaga,
melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. menyampaikan
laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d. memantau
pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.
melaksanakan program Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
Perubahan tersebut dimaksudkan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir
dipertegas dengan adanya izin dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sehingga pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada
dinaungan hukum.
20. Ketentuan
Pasal 63 ayat 2 diubah
“Pemerintah wajib mendorong kegiatan
usaha Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui
peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan,
infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya”.
Perubahan
tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah juga memiliki kewajiban untuk peningkatan
kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur,
jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
21. Ketentuan
Pasal 71 diubah
21.1.
Ayat 1
“Pelanggaran terhadap persyaratan
sebagaimana tercantum di dalam HP-3 dikenakan sanksi administrative”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemanfaatan
ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
yang tidak sesuai dengan Izin Lokasi yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dikenai sanksi administrative”.
21.2.
Ayat 2
“Sanksi administratif sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, denda
administratif, dan/atau pencabutan HP-3”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, dan/atau
pencabutan Izin Lokasi”.
21.3.
Ayat 3
“Ketentuan lebih lanjut mengenai
denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri”.
Mengalami perubahan menjadi:
“Pemanfaatan
sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai
dengan Izin Pengelolaan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dikenai sanksi administrative”.
21.4.
Ayat 4 (ayat tambahan)
“Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. peringatan
tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan;
c. penutupan
lokasi;
d. pencabutan
izin;
e. pembatalan
izin; dan/atau
f. denda
administrative”.
21.5.
Ayat 5 (ayat tambahan)
“Ketentuan lebih lanjut mengenai
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah”.
Perubahan tersebut dimaksudkan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir
dipertegas dengan adanya izin dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sehingga pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada
dinaungan hukum. Sanksi administratif juga telah didefinisikan apa saja
bentuknya.
22. Ketentuan
Pasal 75 diubah
“Dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:
a.
melakukan kegiatan usaha di Wilayah
Pesisir tanpa HP-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
b.
tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)”.
Mengalami
perubahan menjadi:
“Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan
Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)”.
Perubahan tersebut dimaksudkan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir
dipertegas dengan adanya izin dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sehingga pegelolaan dilakukan secara tertib dan berada
dinaungan hukum. Penambahan hukuman baik berupa materi maupun lama kurungan
penjara yang dimaksudkan agar membuat setiap orang jera dan tidak ingin
melakukan pelanggaran.
23. Pasal
75 A
“Setiap Orang yang memanfaatkan
sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki
Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Penambahan
dimaksudkan untuk peringatan terhadap pelanggaran izin pengelolaan yang belum
tercantum dalam UU No. 27 Tahun 2007.
24. Pasal
78 A
“Kawasan konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan
Menteri”.
25. Pasal
79 B
“Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan
Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun”.
Penambahan
ini dimaksudkan agar segala sesuatu yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber
daya perariran pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada wajib
menyesuaikan dengan UU No. 1 Tahun 2014 paling lama 3 tahun. Dan Kewenangan
menteri untuk kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
telah ditetapkan sebelum UU ini berlaku.
Setelah memahami UU tersebut
memang diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan hukum di masyarakat
Oleh karena itu, perubahan yang
dilakukan adalah bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta)
melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak
mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan, melakukan pengaturan,
melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Dengan
demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi secara keseluruhan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan
menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perubahan pada UU No. 1 tahun
2014 mencakup:
- Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan oleh Pemerintah dan juga Pemerintah daerah.
- Pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- Pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
- Pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya
- Pemberian Sanksi dan Denda kepada pelanggar hukum
- Serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sumber:
UU
No. 27 tahun 2007 dan UU No.1 tahun 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar