Sumber: sanutra.com |
Segara Anakan ialah laguna
raksasa yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa di perbatasan antara
Propinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan laguna di
antara Pulau Jawa dan Pulau Nusa Kambangan. Kawasan Segara Anakan merupakan
outlet dari 3 (tiga) sungai besar, yaitu Sungai Citanduy, Sungai Cibereum dan
Sungai Cikonde serta sungai-sungai kecil lainnya.
Laguna sendiri dalam istilah geografi
adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya
menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan laut. Segara Anakan merupakan
kawasan perairan yang unik, karena didominasi hamparan hutan bakau (mangrove)
yang sangat luas (Parwati, 2004).
Segara Anakan merupakan salah satu
laboratorium alam bagi para peneliti dalam dan luar negeri dari aneka disiplin
ilmu, antara lain biologi, geologi, fisika, sosial, ekonomi, budaya dan hukum.
Artinya laguna Segara Anakan merupakan laguna yang sangat kaya akan manfaat.
Ditinjau dari fungsi sosial ekonomi, ekosistem mangrove di wilayah ini
menyangkut siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung
dan aneka reptile. Laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat
membesar atau berkembangnya anak-anak satwa laut itu sebelum kemudian keluar
melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya
ditangkap para nelayan. Hal itu penting buat menunjang keberlanjutan produk
perikanan laut setempat yang sangat erat berkaitan langsung dengan kondisi
sosial ekonomi nelayan. Sebagai sarana transportasi laut antar kecamatan dan
pusat-pusat keramaian di tepi barat, selatan dan timur perairan Segara Anakan,
laguna ini sangat vital. Potensi lain adalah daya tarik kepariwisataannya yang
kuat (Parwati, 2004).
Hasil survei tahun 1980-an menunjukkan,
di Segara Anakan terdapat 26 jenis tumbuhan mangrove dengan
tiga jenis vegetasi (tumbuhan). Yang paling dominan adalah jenis api-api,
bakau, dan cancang (Bruguiera gymnonthiza) yang sering dimanfaatkan
penduduk untuk kerangka bangunan rumah panggung. Mangrove memang
merupakan ekosistem paling produktif di antara komunitas laut. Daun-daunnya
yang rontok ke air dan kemudian melapuk merupakan tempat mencari makan serta
tempat pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut bernilai ekonomi
tinggi. Kawasan ini berperan besar terhadap tingginya hasil perikanan di Laguna
Segara Anakan (Aris Andrianto, 2008).
Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian
dari Sastranegara dkk. yang disampaikan dalam
makalahnya pada Deutscher Tropentag tahun 2003 di Gottingen. Hasil
penelitiannya tersebut menyebutkan bahwa telah ditemukan sedikitnya 15 spesies
kepiting bakau di kawasan Laguna Segara Anakan pada tahun 2003. Dan 90% dari
jenis tersebut dapat ditemui dengan mudah di kawasan yang tertutup rapat oleh
kawasan mangrove yang masih baik di laguna tersebut (Sastranegara dkk., 2003).
Menurut Peneliti Senior dari Badan
Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT), Odilia Rovara, mengungkapkan,
Segara Anakan keunikan ekosistem laguna Segara Anakan ini dapat dilihat dari
keberadaan biota yang ada, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini memiliki
kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan ikan biasa. "Dari 12
species ikan sidat di dunia, tujuh di antaranya berkembang di Segara Anakan.
Hal ini karena kawasan tersebut memiliki ekosistem yang unik (Harian Kompas,
2008).
Oleh Badan Konservasi Segara Anakan
dan Nusakambangan, agar konservasi di kawasan lagunan Segara Anakan bisa
berjalan, kawasan ini di bagi menjadi tiga zona yaitu: zona inti, zona
transisi, dan zona pemanfaatan (Tempo Interaktif, 2009).
Degradasi
Laguna Segara Anakan
Dengan tingginya potensi
ekologis, sosial dan ekonomi dari Laguna Segara Anakan, laguna ini juga sedang
didera berbagai permasalahan yang serius dalam lima puluh tahun terakhir.
Berbagai permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 hal penting yaitu:
(1) Pendangkalan dan penyempitan luas kawasan laguna; (2) Kerusakan kawasan
hutan mangrove yang ada di laguna. Kedua kelompok masalah ini saling terkait
antara sebab, akibat dan dampaknya.
Laguna Segara Anakan secara
kontinyu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya
sedimentasi pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan
serta penyempitan luasan laguna (Boesono S., 2009).
Data dari Badan Pengelola Kawasan
Segara Anakan (BPKSA) yang diperoleh Harian
Kompas, pada Desember 2008,
menunjukkan, luas perairan Laguna Segara Anakan tahun 1903 masih 6.450 ha.
Namun tahun 1939, tinggal 6.060 ha. Jadi, dalam kurun waktu 36 tahun luas
wilayah perairan laguna yang hilang akibat sedimentasi mencapai 390 ha. Sekitar
tahun 1971, luas Segara Anakan menyusut lagi menjadi 4.290 ha. Hal ini terus
berlanjut hingga pada tahun 1984 luas laguna yang memiliki hutan mangrove terluas
di Jawa itu mencapai 2.906 ha. Jumlah tersebut pada tahun 1994 atau 10 tahun
kemudian menyusut 1.331 ha menjadi 1.575 ha. Luasan tersebut kembali turun pada
tahun 2005 atau 11 tahun kemudian menjadi 834 ha. Artinya, dalam kurun waktu 21
tahun, terjadi penyusutan luasan laguna 2.072 ha atau 98,6 ha per tahun (Harian
Kompas, 2008).
Penurunan
luasan kawasan Laguna Segara Anakan dapat diamati dengan menganalisis seri data
penginderaan jauh secara serial. Hal ini
yang kemudian dilakukan oleh LAPAN pada tahun 2004. Dari citra Landsat
yang diambil pada tahun 1978, 1993 dan 2002.
Dari seri citra tersebut kemudian dapat
disusun pola spasial penurunan luas kawasan Laguna Segara Anakan yang dapat di
lihat sebagai berikut:
Dari kedua gambar di atas, dapat
diperhatikan bahwa penumpukan sedimen terutama terjadi pada daerah utara laguna.
Hal tersebut dimungkinkan karena bagian selatan laguna ialah bagian cekungan
yang tidak memiliki arus yang deras. Sedangkan pada bagian selatan, yang
mendekati Pulau Nusakambangan merupakan kawasan yang berarus deras.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa
dalam perkembangan pengurangan luas kawasan laguna padatahun 1998 – 2003 hanya
mengalami pengurangan luas sekitar 60 Ha/tahun. Terdapat indikasi telah terjadi
perbaikan kondisi 3 kali lebih baik dari 20 tahun sebelumnya, meskipun
pengurangan luas 60 Ha per tahun masih tidak bisa ditolelir (Maryono 2004).
Kerusakan laguna Segara Anakan terutama
disebabkan tingginya materi sedimen yang masuk ke dalamnya. Menurut Zuardi
(2005), di perkirakan besarnya sedimen yang masuk dari Sungai Citanduy sebesar 8.05 juta ton/tahun, Sungai Cimeneng
sebesar 0.87 juta ton /tahun dan Sungai Cikonde 0,22 juta ton/tahun dengan
total pasokan sedimen 9.14 juta ton/tahun. Dan total sedimen yang masuk ke
Segara Anakan sekitar 8,5 juta ton/tahun keluar ke laut dan sekitar 0,66 juta
ton/tahun mengendap di laguna Segara anakan (Zuardi, 2005).
Sumber:
Ita
Carolita, Ety Parwati, Bambang Trisakti, Tatik Kartika, dan Gahton Nugroho,
2005. Model Prediksi Perubahan Lingkungan
Di Kawasan Perairan Segara Anakan; Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan EfektifPenginderaan
Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa” di UNAIR,LAPAN, Jakarta .
Eti Parwati, 2004. Inventarisasi Dan Prediksi Dinamika Kawasan
Pesisir Segara Anakan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh; Makalah
Pengantar Falsafah Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Indra Zuardi, 2005. Penyelamatan
Laguna Segara Anakan dengan Sudetan, Thesis, Jurusan Teknik Sipil Imstitut
Teknologi Bandung, Bandung
Kompas,
2008. Luas Segara Anakan Tinggal Kurang
dari 800 Hektar, http://www.kompas.com/news/, upload time:
14 Desember 2008
Good reference (y)
BalasHapus